07 Januari, 2009

Hujan Badai

Bersambung kilat di ujung langit,
Gemuruh guruh berjawab-jawaban
Bertangkai hujan dicurah awan,
Mengabut kabut sebagi dibangkit,


Berhambur daun di badai angina,
Pakaian dahan beribu-ribuan,
Berkalang kabut ketentuan,
Menakut hati, menggoyang batin,

Begitulah pula di dalam hidup,
Lebih hebat, lebih dahsyat badai bersabung,
Lebih berkabut, bercabul topan mengarung-garung,

Seorang tida’ menolong kulud,
Hanya tatap, tida’ goyang iman di jantung,
Yakin mengenal kepada tuhan, itu tertulung

Karya Rustam Effendi

lanjutkan.....

Wanita

Hari minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
Berjalan lambat karena kainnya kain berwira
Meninggalkan rumah depan menuju jalan
Terlentang antara pohon palma berderetan


Jari hari-hari memegang wiru kataku
Sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
Kenalkan ke kiri ke kanan mereka berhenti gelisah
Karena kain berwiru dan bertumit tinggi, rambut
Berbelai angin dan panas matahari, -becak lalu-
Mereka segera musyawarah suaranya tinggi

Nada-nada tinggi tawar-menawar rupanya dimulai
Entah mengapa kasak-kasak terhenti, ternyata
Buang beca mengayunkan kakinya lagi dan mereka
Asyik dan rinag akhirnya tidak tampak olehku lagi

Meninggalkan halaman depan agaknya mencari rindang
Deretan pohon sepanjang jalan, asyik dan riang
Gerak, warna, irama rapi membawa kesegungguhan
Arisan pada minggu pagi hari

Karya Toety Heraty

lanjutkan.....

Nyanyian Bunda Yang Manis

Kalau putraku datang
Ia datang bersama bulan
Kerna warna jingga dan terang
Adalah warna buah dibadan

Wahai, telor muda, dan bulan!
Perut langit dapat sarapan
Ia telah berjalan jauh sekali
Dan kaki-kakinya tak berhenti-henti
Menampak di bumi hatiku
Ah, betapa jauh kembara burungku


Sumber angin mana dicarinya?
Sainganku bunda yang mana?
Kuda jantan dengan kuda-kuda runcing wa!
Angin tak putus dahaga ia!
Putra-putra langit pun pergi kembara
Dan lelaki selalu pergi ninggalkan tanya

Tanah yang di bajak dan diinjak adalah hati bunda
Makin hari makin parah tapi makin subur ia
Hati bunda adalah belantara yang rela terbuka

Bagi bapaknya ia!
Pergi dan tak terduga
Wahai, buah tubuh yang dulu kulahirkan
Adalah sekepal duri yang manis dan jelita

Karya Rendra

lanjutkan.....

Turun Malam

Sebuah lembah di depan, suangai menggeliat diperutnya
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpak berkejaraan
Gunung benteng terakhir mendukung senja

Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis yang mengucapkan selamat malam
Ketengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki lembah
Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh

Seorang perlahan menyanyikan lagu rapublik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingkan mata serta bahu memar ngembara
Rimba akasia di puncak paling biru

Kuketup kini pundakmu, bukit benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya

Karya Taufiq Ismail

lanjutkan.....

Pahlawan Tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kemudian lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang



Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara
Menderu

Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah- wajahnya sendiri tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda

Karya Toto Sudarto Bahctiar

lanjutkan.....

Seorang Kuli Tua Di Setasiun Yokohama

Seorang kuli tua disetasiun yokohama
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Berdiri agar terbungkuk di depan peron
Handuk kecil di lehernya

Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela kereta
Ia pun menjamah koporku setelah menatapku
Agak lama


Hari itu musim panas di bulan Agustus
Udara sangat lembab dan iangin tak tertiup
Menyeka dahi ditolaknya lembarang uang

Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat di ucapkannya selamat jalan
Ia pun kembali ke setasiun terbata-bata

Karya Taufiq Ismail

lanjutkan.....

Periang Si Jelita

Seruling di pasir, merdu
Antara gundukan pohon pina,
Burangrang-tangkuban perahu

Jamrut di puncak-puncak
Jamrut di air tipis menurun



Membelit tangga di tanah merah
Dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyian kantang sudah digali
Kenakan kebaya merah ke pewayangan

Jamrut di puncak-puncak
Jamrut di hati gadis menurun

Karya Ramdhan K.H.

lanjutkan.....